Minggu, 06 November 2011

Clara, Aku Bukan Kakakmu!

Nyanyian jangkrik menabuh kesunyian malam. Hembusan angin membisikkan senandung irama tanpa nada. Sesekali deruan kendaraan manusia berusaha memecah selubung gelap. Aku masih terpekur dalam imajinasiku yang membumbung menyelami langit. Bahagia mendayung awan namun tersadar untuk kembali menjejak bumi. Menangis, meneteskan bulir bening tanpa kendali.
                “Ah aku terlalu berlebihan!! Bahkan aku hanya seorang anak angkat yang seharusnya tau terimakasih,” maki batinku. Clara saudara angkatku tidaklah sejahat bawang merah yang ada dalam dongeng. Ia juga tak pernah menyakitiku, meski saat ini aku merasa begitu tersakiti. Namun aku tetap menyayanginya layaknya saudara kandungku. Ia telah menjadi adik yang sangat aku sayangi selama bertahun-tahun. Sakit ini tak seharusnya membuatku membenci mereka. Selama bertahun-tahun aku hidup dengan mereka penuh kasih sayang. Orangtua Clara selalu berusaha untuk adil dalam membagi cinta mereka kepada kami berdua. Usia aku dan Clara terpaut satu tahun.
                “Bu, maafin Rara, Rara janji akan jagain Clara, ga akan bikin Rara nangis. Rara janji akan jaga Clara bu..” itu yang aku tulis pada secarik kertas ketika Ibu sempat dibuat cemas karena aku yang tak sengaja menabrak pohon saat aku bersepeda dengan Clara. Clara sempat pingsan saat itu. Akupun menangis dan sangat menyesal meski ibu tak sedikitpun memarahiku.
****
11 tahun yang lalu aku hanyalah seorang pemulung yang tinggal di tempat pengumpulan barang-barang rongsokkan. Sepeninggalnya orangtuaku aku menjadi pemulung di usia kanak-kanakku. Aku harus mengorek-ngorek tempat sampah hanya sekedar untuk menenangkan cacing-cacing diperutku yang terus memberontak.
Seperti biasa, pagi ini aku telah siap mengawasi sebuah tempat makan dengan tatapan tajam penuh kesiagaan. Namun aku bukanlah satu-satunya yang kelaparan. Dibalik rerumputan seberang rumah makan ini telah berdiri dua orang pemulung yang juga tengah mengincar makanan yang dibuang ke tempat sampah. Tempat sampah adalah sesuatu yang memuakkan bagi mereka namun dibutuhkan oleh kami. Rumah makan modern dengan ornament sederhana ini selalu dipenuhi pengunjung. Maka hal itu berarti akan ada banyak makanan yang tersisa. Orang-orang berjas didalam sana seringkali menyisakan makanan mereka. Miris melihat mereka yang hanya menghambur-hamburkan uang saja. Ah, setidaknya itulah cara Tuhan memberi makanan enak untuk kami.
                Seorang pelayan toko keluar membawa plastik hitam berukuran sedang. Aku dan dua orang di balik semak-semak itu bersiap siaga, kami siap berlari menyergap. Seketika plastik dari tangan pelayan toko itu telah berpindah ke tempat sampah. Dan detik selanjutnya aku telah berhasil memindahkan plastik itu ke tanganku. Namun tiba-tiba suara keras dihadapanku mengagetkanku. “Hei itu milik kami!”  bentak seseorang bertubuh tinggi dan kurus. Lalu temannya yang bertubuh gemuk mendorong tubuhku hingga aku tersungkur. Ia lalu mengambil plastik dari tanganku ketika aku meringis kesakitan. Kepalaku pening. Dan semuanya menjadi gelap!.
                Aku terbangun disebuah ruangan yang begitu asing. Ruangan bercat pink. Bersih. Setiap sudut dihiasi boneka-boneka, dan ada tirai yang menjuntai di muka pintu. Aku pikir ini hanya sebuah mimpi, ya mimpi seorang anak yang berharap memiliki kamar yang nyaman untuk tidurnya. Aku mencubit lenganku beberapa detik. Sampai aku meringis kesakitan oleh cubitanku sendiri. “Ternyata ini bukan mimpi Ra. Ini nyata!” gumamku seraya mengerjapkan mata. Kemudian seseorang berparas cantik dengan kerudung berwarna putih masuk. “Ia cantik sekali,” bisikku dalam hati yang begitu terpesona dengan kecantikannya. Dan setelah ia menanyakan banyak hal padaku, sampailah pada tawarannya untuk mengangkatku menjadi anaknya yang hanya aku jawab dengan anggukan seraya menangis haru. Ia memelukku erat sehangat pelukan ibuku yang telah tiada. Dan dari itu aku menyimpulkan bahwa ia tak hanya cantik rupa saja, hatinya ternyata jauh lebih cantik!. Paradigmaku tentang orang kaya akhirnya berubah semenjak ia menjadi ibu angkatku. Tidak semua orang kaya itu jahat dan suka menghambur-hamburkan uang. Tapi tetap saja sulit menemukan orang kaya yang tidak jahat dan tidak suka menghambur-hamburkan uang.
Dan sejak itu Clara menjadi adik angkatku. Clara mewarisi kecantikan ibunya, ia pun mewarisi kecerdasan ayahnya yang seorang mualaf berkebangsaan Amerika. Sebagai anak-anak kami begitu akrab dan saling menyayangi. Clara sering sekali menangis dan akulah yang selalu berusaha menghiburnya karena tak ingin ketahuan ibu. Clara pun  begitu menyayangiku dan tak pernah ingin jauh dariku.
***
Memori usang berputar mengingatkanku akan masa kecilku. Sebagian masa kecilku tak lagi aku habiskan ditempat barang-barang bekas dengan bau menyengat. Namun kehidupan bersama Clara juga tak terlalu membahagiakan bagiku. Kami adalah dua sisi yang sangat jauh berbeda. Ia dengan segala kegemilangannya, sedangkan aku dengan segala keburukanku.
                Ia selalu disanjung dimanapun ia berada. Sampai saat ini aku belum pernah melihat ada yang lebih cantik darinya. Luar biasa bukan? Dan dengan kecerdasannya ia selalu menjadi duta olimpiade sampai tingkat nasional. Namun untuk hal prestasi, cukup ada yang dapat aku banggakan, setidaknya aku adalah juara pertandingan Karate tingkat Internasional. Ya, aku seorang karateka yang dapat melampiaskan amarahku dengan pukulan.
                Ketika masuk perguruan tinggi yang sama, teman-teman kami selalu menanyakan kebenaran bahwa kami adalah saudara. Karena kami adalah dua bagian yang sangat berbeda. Namun Clara selalu mengatakan bahwa kami adalah saudara kandung. Clara dengan segala kelembutannya dan aku dengan kerasnya sikapku.
                “Kak Rara, pake kerudung dong,” ucapnya ketika aku bonceng beberapa bulan yang lalu.
                “Hah pake kerudung, nggaklah Ra, ga cocok, aku tomboy begini ko.” Dalihku.
                “Rambutnya nyolokin mata nih hehe..” ia mencoba mencari jawaban yang tidak menyinggungku.
                Keluarga Clara merupakan keluarga muslim yang taat. Ini bukan pertama kalinya Clara memintaku menutup aurat. Dan akupun sebenarnya sudah mengetahui maksud baik mereka. Namun aku tetap saja merasa belum siap. Hatiku tak sebaik mereka. Kerasnya hidup di masa kecil telah berhasil mengeraskan hatiku. Dan entah sampai kapan aku bertahan dengan kekerasan hati.
***
                “Hei sedang  apa kalian!” bentakku saat melihat segerombolan preman yang sedang memukuli seorang pemuda yang sudah terkapar lemas.
                Salah satu dari mereka menoleh, “ini milik kami!”  teriaknya sambil tertawa keras. Tiba-tiba aku teringat kata-kata itu dan aku mengenali orang itu. Seseorang dengan tubuh tinggi dan kurus.  Seketika tanganku mengepal. Dan tak peduli seberapa banyak jumlah mereka, akupun menyerang mereka tanpa ampun. Mengingat perlakuan mereka saat itu membuatku begitu geram. Mereka yang menyadari kekuatan tangan dan kakiku akhirnya memutuskan mengambil langkah seribu. Karena mereka hanya mengandalkan modal keroyokan.
                “Terimakasih,” Bisik pemuda itu lirih dengan wajah penuh bekas luka.
                “Biar aku antar kau pulang,” sambil merangkulnya aku mencoba memapah tubuhnya yang tinggi dan berisi.
                Dari KTP nya yang tertinggal di jok mobilku aku mengetahui namanya. Aldi, seorang mahasiswa jurusan Kimia semester  8.  Dia kini tengah menyelesaikan skripsinya. Dan ketertinggalan dompetnya menjadi alasan bagiku untuk menemuinya lagi. Aku mengakui, sepertinya aku menyukainya. Karena semenjak itu aku selalu memperhatikannya dari kejauhan, bahkan aku sengaja belum mengembalikan dompetnya. Agar ketika aku sangat merindukannya, dompet itu dapat aku jadikan alasan untuk menemuinya. Aku berubah profesi menjadi seorang pemuja rahasia.
                “Kak Rara pake bedak?” suara Clara mengagetkanku yang sedang asik berdandan.
                “Ah ngga, lagi iseng aja,” aku berdalih.
                “Kak, nanti temenin aku ya, seperti biasa…” ucapnya sambil duduk di springbed kamarku.
                “Temenin keluar atau temenin nemuin temen cowok,” jawabku yang masih sibuk  mengepul-ngepulkan bedak.
                “Mau ada temen cowok, dia kakak tingkat kak, mau minjem buku Clara.” Clara menjelaskan.
                “ Siapa namanya?” tanyaku ingin tahu.
“Kak Aldi” jawabnya singkat.
Deg! Ah mana mungkin dia bisa kenal Clara. Dia mahasiswa semester 8 dan sudah jarang di kampus. Dia sedang sibuk dengan skripsinya. “Tenang Ra, yang namanya Aldi ga Cuma satu kok,” aku mencoba menenangkan diri.
Clara kembali masuk ke kamarku setelah beberapa detik yang lalu membuka pintu karena terpanggil suara bel. Ia lalu mengajakku keluar untuk menemaninya menemui tamunya. Itu kebiasan dia setiap bertemu dengan tamu pria yang tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Ketika keluar menemui orang itu, seketika aku  tersadar setiap bagian tubuhku telah kaku, aku tak dapat berbicara apapun. Bahkan ketika ia menyapaku dan menanyakan namaku. Ya, saat itu aku belum sempat memperkenalkan diri dan diapun  tak mengetahui bahwa Clara adalah adikku. Aku seperti patung saat mendapatkan pemandangan ini. aku merasa sangat bodoh! Apalagi ketika aku menangkap tatapan suka dari seorang Aldi pada adikku Clara. Arrrggghhh… aku ingin marah. Aku masuk ke kamarku dan dengan segera mengambil dompet pria itu lalu meletakkannya dengan kasar di meja tempat mereka berdua sedang mengobrol.
Aku tinggalkan mereka yang saling pandang tak mengerti dengan sikapku. Aku mendengar Clara memanggilku. Namun kali ini aku sama sekali tak memperdulikan panggilannya. Aku berlari ke bagasi, mengambil motorku. Dengan kecepatan tinggi aku meluapkan semua rasa ini.
“Kenapa harus Clara? kenapa Clara selalu mendapatkan segalanya?” aku memaki Tuhan. Kembali dengan kecepatan tinggi aku kembali ke rumah. “Ya, aku ingin melakukan sesuatu, Clara harus tau apa yang aku rasakan selama ini,” gumamku.
Setiba dirumah aku menemukan Clara yang hendak membeli buku. Karena dia mengira aku belum pulang maka ia akan pergi seorang diri. Dan inilah kesempatanku untuk membalas rasa sakitnya hatiku. Aku mengendap-ngendap ke bagasi saat Clara masih sibuk di kamarnya. Aku rusak saluran remnya. Dan aku kemudian pergi.
***
Aku masih terpekur dipelataran rumah sakit. Aku belum pergi kemanapun sejak seorang suster aku minta mengantarku ke palataran ini. Tiba-tiba handphoneku berdering.  Aku tak tau nama siapa yang tertulis di layar. Semua kejadian ini begitu singkat. Berawal dari kecemburuanku pada semua yang dimiliki Clara, seseorang yang selalu memanggilku Kakak.
Kebodohanku telah mengantarkanku pada kisah ini. ketidaksyukuranku terhadap apa yang aku miliki membuatku telah kehilangan segalanya. Setelah aku pergi dari rumah, aku mendapatkan kabar tentang kecelakaan Clara. Dan aku bahagia! Ibu mengatakan kondisi Clara yang kritis dan terus mengigau namaku. Ibu bilang kalau Clara sangat ingin bertemu denganku. Tapi Ibu juga mengatakan bahwa melihatku adalah sesuatu yang tak mungkin lagi bagi Clara. Namun ekspresiku berubah ketika Ibu mengatakan bahwa Clara mengalami kebutaan.
Clara buta akibat tingkahku. “Apa kau bahagia Ra?” maki batinku. Aku bingung dengan perasaanku. Dan kali ini aku tak dapat menahan tangisku. Aku tak menyangka akan seperti ini. Awalnya aku pikir aku akan bahagia setelah penderitaan yang dialami Clara. Tapi ternyata aku bahkan tak dapat tersenyum. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh.
                Aku langsung bergegas ke tempat Clara dirawat, bukan untuk menemuinya. Karena bahkan aku tak punya muka untuk bertemu Clara dan Ibu. Aku langsung menemui dokter spesialis mata yang awalnya keberatan untuk melakukan operasi. Namun aku terus memohon sampai akhirnya operasipun dilakukan.
                Aku hanya menangis di pelataran rumah sakit ini. Telpon yang sedari  tadi berdering akhirnya aku angkat.
                Diseberang telpon terdengar suara seseorang yang begitu aku kenal, “Nak, Alhamdulillah, Clara telah mendapatkan donor mata dari seseorang yang begitu baik hati namun tak mau disebutkan identitasnya. Kamu dimana nak? Ayo kesini, Clara merindukan kakaknya..”
                Tak sanggup lagi aku berkata-kata. Aku matikan telpon. “Aku bukan orang baik bu, dan aku bukan kakakmu, Clara, aku ini jahat.” Aku menangis sejadi-jadinya, “maafkan aku…” ucapku di sela-sela tangisku yang terisak. Aku mencoba berdiri dan melangkah pergi bersama gelapnya pandanganku. Entah akan pergi kemana. Hanya dapat mengikuti langkah ini. Dan aku terus berjalan tanpa tujuan. Sampai kemudian langkahku terhenti saat  suara Klakson memekik begitu keras berhasil mengagetkanku. Dan aku merasa tubuhku melayang…
-SEKIAN-


                                                                                                Semarang, 05 November 2011 pkl 05:16
at Nayla Boarding House           
                By Devia